Danjanganlah ia luput dari amal yang mana ia merupakan tujuan dari ilmu itu sendiri. 3. Mengoreksikan Bacaan Sebelum Menghafal. Seorang penuntut ilmu hendaknya mengoreksikan bacaannya sebelum ia menghafalkannya dengan akurat. Boleh kepada guru atau kepada orang lain yang mau membantunya. Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]) 4. Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong berkahnya ilmu Adab merupakan ilmu dan amal. Dan para ulama juga membuat kitab-kitab dan bab tersendiri tentang adab menuntut ilmu. Adab dalam menuntut ilmu IlmuDahulu Sebelum Amal. Imam besar kaum muslimin, Imam Al-Bukhori berkata, "Al-'Ilmu Qoblal Qouli Wal 'Amali", ilmu sebelum berkata dan beramal. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta'ala, "Maka ilmuilah (ketahuilah)! bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi Namun banyak penuntut ilmu yang tidak mengetahui adab-adab yang diajarkan dalam Islam dalam menuntut ilmu. Ustaz Abu Yahya Badrussalam Lc dalam kajian yang diselenggarakan di Masjid Al-Hidayah, Bekasi, belum lama ini, menjelaskan beberapa adab saat menuntut ilmu. Dalam kajian berjudul adab menuntut ilmu tersebut, ustaz lulusan salah satu Olehsebab itu, ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang men-sahkan amal.” (Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476). Dari keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. BangJack : Adab sebelum ilmu itu diartikan sebagai diri manusia harus memiliki akhlak yang bagus sebelum menerima banyak ilmu yang ada, misalnya nih mas habib ingin menjadi penghafal quran, tentunya sebelum memilih rumah tahfidz mana yang manu dituju hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana kita memiliki akhlak yang mulia. rdfQHq. Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia mempunyai kemampuan untuk selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Sebab manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, yang dilengkapi akal, fikiran, dan nafsu yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Dalam pandangan ilmu sosiologi, manusia sebagai makhluk sosial memiliki makna sebuah konsep ideologi, bahwa masyarakat atau struktur sosial merupakan sebuah organisme yang memiliki kehidupan, maka dalam hal ini, manusia tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bergantung pada makhluk hidup yang lain atau lingkungan. Maka dalam kehidupannya, manusia membutuhkan bekal. Dalam wikipedia, dijelaskan mengenai ilmu. Yaitu usaha sadar sepenuhnya untuk meneliti, menemukan, dan mengembangkan pemahaman manusia dari berbagai unsur kenyataan dalam alam manusia. Pengertian tersebut jelas bahwa dalam hidupnya, bekal pertama yang harus dimiliki manusia adalah kemampuan untuk hidup bermasyarakat. Sebagaimana contohnya, ketika kita ingin bersosialisasi dengan masyarakat dengan media sholat berjamaah, maka kita harus paham ilmunya tentang sholat berjamaah. Kemudian ketika kita ingin membeli sesuatu di pasar, kita harus paham ilmunya berhitung. Maka, keilmuan dalam setiap lini kehidupan sangat penting dimiliki, hampir tidak ada yang bisa kita lakukan jika tanpa ilmu. Kewajiban memperoleh keilmuan juga disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya "Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap kaum muslimin dan muslimat" HR. Ibnu Majah. Terkini Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Oleh KH Hafidz Abdurrahman Khadim Ma’had Syaraful Haramain Pentingnya Adab — Ibn Hajar al-Asqalani w. 852 H rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-Tsauri w. 161 H mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya menulis hadits.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361] Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ “Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak w. 181 H, menyatakan مَنْ تَهَاوَنَ بِالأَدَبِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ السُّنَنِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ باِلسُّنَنِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ الْفَرَائِضِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ بِالْفَرَائِضِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ المَعْرِفَةِ “Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Apa Sesungguhnya Adab? Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H menyatakan عِلْمُ الأَدَبِ هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ “Ilmu adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, Juz II/368] Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua Pertama, adab alami [tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang memiliki ilmu dan kemuliaan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zari’, yang ketika itu menyertai delegasi Abdu al-Qais, beliau menyatakan أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال للمنذر الأشج إن فيك خَلَّتين يحبهما الله؛ الحِلْم، والأَنَاة، قال يا رسول الله، أنا أتخلَّق بهما أمِ اللهُ جبَلني خلقني عليهما؟ قال بلِ اللهُ جبَلك عليهما، قال الحمد لله الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما الله ورسوله؛ “Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm” [kelapangan dada] dan “anât” [kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan [kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Hr. Abu Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan أدب المرء عنوانُ سعادته وفلاحه، وقلة أدبه عنوان شقاوته وبَوَارِه، فما استُجلِب خيرُ الدنيا والآخرة بمثل الأدب، ولا استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة الأدب. “Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368] Tolok Ukur Adab Sufyan bin Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل “Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Karena itu, Muhammad bin Syihab az-Zuhri [w. 124 H] menyatakan إن هذا العلم أدبُ الله الذي أدَّب به نبيه صلى الله عليه وسلم، وأدَّب النبي صلى الله عليه وسلم أمَّته، أمانة الله إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، فمن سمع علمًا فليجعله أمامه حجةً فيما بينه وبين الله عز وجل؛ “Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu alaihi wa Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan Allah Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78] Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita, yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya. Bagaimana Mereka Belajar Adab? Muhammad bin Sirin [w. 110 H] menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup [adab], sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Imam Malik bin Anas [w. 179 H] pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/330]. Beliau juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut [kepada Allah]. Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/156] Ibn Wahab menyatakan, “Adab Imam Malik yang kami nukil, yaitu apa yang kami pelajari, lebih banyak ketimbang ilmunya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VIII/113] Ad-Dahabi juga menuturkan, bahwa Ismail bin Uliyyah berkata, “Dulu orang berkumpul di Majlis Imam Ahmad ada kira-kira 5000, atau lebih, hingga 500 orang. Mereka menulis. Sisanya, mereka belajar dari beliau mengenai kemuliaan adab dan perilaku.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/316] Para murid dan pengikut Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, pergi dan datang untuk berguru kepada beliau. Mereka melihat bagaimana kemuliaan perilaku beliau, dan tuntunan hidup [yang terkait dengan respek, penghormatan dan ketenangan] beliau. Mereka pun menduplikasikannya, sebagaimana Abdullah bin Mas’ud. [al-Qasim bin Salam, Gahrib al-Hadits, Juz I/384] Begitu juga para murid dan pengikut Ali bin al-Madini [w. 234 H], guru Imam al-Bukhari, sebagaimana diceritakan oleh Abbas al-Anbari, “Mereka menulis tentang berdirinya Ali bin al-Madini [guru Imam al-Bukhari], begitu juga duduknya, pakaiannya, dan apa saja yang beliau sampaikan, dan lakukan. Atau hal-hal seperti itu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XIII/321] An-Nakha’i [w. 96 H] mengatakan, “Mereka [generasi Salaf], ketika mendatangi seseorang [ulama’] untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/28] Beliau juga menuturkan, “Jika kami ingin mengambil ilmu dari seorang guru [Syaikh], maka kami akan menanyakan tentang makanan dan minumam beliau, tentang tempat keluar dan masuknya.” [al-Jurjani, al-Kamil fi Dhu’afa’ ar-Rijal, Juz I/602] Maka, sebagian orang bijak mengatakan, “Adab dalam perbuatan [perilaku] merupakan indikasi diterimanya amal [perbuatan].” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/360] Membersamai Ulama’ Membersamai ulama’ dalam waktu yang lama merupakan cara terbaik untuk mendapatkan adab dan ilmu. Begitulah dahulu para sahabat dan generasi setelahnya belajar adab dan ilmu. Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj, berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه؛ “Kalian mengira, bahwa Abu Hurairah itu memiliki banyak hadits dari Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama? Allah Dzat Maha Tahu dan Membuat perhitungan [jika aku berbohong]. Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama dengan batas kemampuanku. Sementara kaum Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka, Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku pun menghimpunnya di dalam diriku. Sejak itu, aku tak pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku dengarkan dari baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama.” [Hr. Bukhari dan Muslim] Begitulah, kisah tentang Abu Hurairah, yang datang ke Madinah, setelah peristiwa Perang Khaibar, setelah Sulh Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan kata lain, beliau hanya bersama Nabi tidak kurang dari 4 tahun. Tetapi, karena tekadnya membersamai Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama itulah yang membuatnya menguasai banyak hadits, dan karamah, karena doa dari Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama. Imam Abu Hanifah w. 148 H menuturkan, “Aku membersamai Hamad bin Abi Sulaiman selama 12 tahun.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Beliau melanjutkan, “Aku tidaklah shalat, sekali saja, sejak Hamad wafat, kecuali aku memintakan ampunan untuknya dan kedua orang tuaku. Aku juga memintakan ampunan untuk mereka yang aku telah belajar ilmu darinya, atau murid yang aku ajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Kata Imam Malik, “Dulu, ada orang [alim] yang bolak-balik kepada seorang [alim] selama 30 tahun, untuk menimba ilmu darinya.” Beliau juga menceritakan, “Nu’aim al-Mujimar membersamai Abu Hurairah selama 20 tahun.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/108] Tsabit al-Bunani mengatakan, “Aku telah membersamai Imam Anas bin Malik selama 40 tahun. Aku tidak melihat ada orang yang ahli ibadah melebihi beliau.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz V/222]. Bagitu juga Nafi’ bin Abdillah menuturkan, “Aku membersamai Malik selama 40 tahun, atau 35 tahun.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/320] Bahkan, kata Ibn Hibban, “Hamid bin Yahya al-Balkhi, termasuk orang yang telah menghabiskan umurnya dengan membersamai Sufyan bin Uyainah.” [Ibn Hibban, at-Tsiqqat, Juz VIII/218] Mereka bertahun-tahun membersamai ulama’, tak hanya belajar adab, ilmu, tetapi juga mengharapkan keberkahan. Di antara keberkahan membersamai ulama’ itu, sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Abi Musa at-Tasturi, “Ada yang memberi nasihat kepadaku, “Di mana pun kamu berada, dekatlah dengan orang yang faqih.” Maka, aku pun datang ke Beirut, menemui Imam al-Auza’i. Ketika aku sedang bersamanya, tiba-tiba beliau bertanya tentang urusanku, dan aku pun memberitahukannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai ayah?” Aku jawab, “Iya. Aku meninggalkannya di Irak dalam keadaan Majusi.” Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa kembali kepadanya, siapa tahu Allah memberikan hidayah melalui kedua tanganmu?” Aku bertanya, “Apakah Anda menyarankan itu kepadaku?” Beliau menjawab, “Iya.” Maka, aku pun mendatangi ayahku. Aku mendapatinya sedang sakit. Beliau berkata kepadaku, “Wahai putraku, apa yang menjadi keyakinanmu?” Maka, aku pun menceritakan kepada beliau, bahwa aku telah memeluk Islam. Beliau bertanya kepadaku, “Coba jelaskan agamamu itu kepadaku.” Aku pun menceritakan Islam dan pemeluknya kepada beliau. Beliau kemudian berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku benar-benar telah memeluk Islam.” Beliau pun wafat dalam sakitnya itu. Aku menguburkannya, kemudian aku kembali menemui Imam al-Auza’i, lalu aku menceritakannya kepada beliau.” [Ibn Asyakir, Tarikh Dimasyqa, Juz XXX/231] Begitulah, kebiasaan generasi terbaik umat Nabi Muhammad ini di masa lalu. Mereka membersamai ulama’, dan benar-benar mengharapkan keberkahan dengan membersamai mereka. Contoh Adab Ulama’ Thawus bin Kisan berkata, “Di antara perkara sunah [tuntunan Nabi] adalah menghormati orang alim [yang berilmu].” [Ibn Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-Ilm, Juz I/519] Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn Abbas tampak menuntun tunggangan Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Anda adalah putra dari paman Rasulullah, Anda menuntun tunggangan seorang lelaki Anshar?” Beliau menjawab, “Sudah menjadi keharusan bagi tinta [sumber ilmu] untuk diagungkan dan dimuliakan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al–Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Amir as-Sya’bi juga berkata, “Ibn Abbas telah memegangi tungangan Zaid bin Tsabit, lalu beliau berkata, “Anda memegangi untukku, sementara Anda adalah putra dari paman Rasulullah?” Beliau menjawab, “Beginilah kami seharusnya memperlakukan ulama’.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Dalam riwayat lain, Ibn Abbas memuji beliau dengan mengatakan, “Zaid bin Tsabit merupakan orang-orang yang ilmunya mendalam.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz II/437] Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Yahya bin Sa’id telah membersamai Rabi’ah bin Abi Abdurrahman at-Taimi. Jika Rabi’ah berhalangan, Yahya menyampaikan hadits kepada mereka dengan sempurna. Beliau adalah murid yang banyak menguasai hadits. Tetapi, jika Rabi’ah hadir, maka Yahya pun menahan diri, karena menghormati Rabi’ah. Bukan karena Rabi’ah lebih tua darinya, padahal usianya sama. Masing-masing saling menghormati.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VI/92] Ubaidillah bin Umar berkata, “Yahya bin Sa’id biasa menyampaikan hadits kepada kami. Beliau pun menyampaikan kepada kami, ibarat mutiara. Tetapi, ketika Rabi’atu ar-Ra’yi muncul, seketika Yahya menghentikan penjelasannya, karena menghormati Rabi’ah dan memuliakannya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/320] Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan Ishaq di tempat Imam Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri menghampiri kami. Kami keluar bersama Abdurrazzaq ke tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami kembali, Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam Abdurrazzaq], kami menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka kami pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan takbir, atau tidak?” Maka, aku pun akan mengumandangkan takbir.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566] Lihatlah, adab Imam Muslim kepada Imam al-Bukhari, gurunya, “Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala macam penyakitnya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XII/432] Begitulah, adab dan akhlak para ulama’ di masa lalu.[] Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments! Lokasi halaman Beranda adab Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu By at 1/04/2021 Dari gambar ini kita belajar bahwa adab lebih penting daripada ketahui, bahwa perbedaan manusia dengan binatang adalah akal atau ilmu. Tetapi tingkatan yang lebih tinggi dari ilmu yakni adab atau akhlak. Karena seberapapun banyaknya ilmu tanpa disertai adab yang baik akan bisa menjadikan manusia pun berperilaku seperti binatangre keserakahan, tamak, kejam dan perilaku tercela lainnyaImam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Kenapa para ulama mendahulukan mempelajari adab?Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”Sebegitu pentingkah mempelajari adab, baru ilmu kemudian???Nah, misalnya di kehidupan nyata pun mungkin dari kita pernahkah menjumpai seorang yang sangat pintar, tapi sombong. Cerdas, tapi tak berperilaku baik. Pandai, tapi adab terhadap orangtua/gurunya kita pun memandang tidak baik orang seperti itu, karena budi pekertinya yang tidak sinkron dengan mengapa adab diutamakan untuk dipelajari terlebih adab itu?Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinisikan, adab adalah menerapkan “akhlak-akhlak yang mulia”Urgensinya kita harus memiliki adab atau akhlaq yang baik sebelum berilmu. Yakni,Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaأكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم خُلقًا“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata “hasan shahih”.Jelas dikatakan, sebaik-baik manusia yang paling baik akhlaqnya. Oleh karenanya, mau jadi sebaik-baik manusia?Yaitu dengan memperbaiki akhlaqnya.. Baca Juga Info Penting langganan artikel menerima tulisan, informasi dan berita untuk di posting menerima kritik dan saran, WhatsApp ke +62 0895-0283-8327 JAKARTA - Pada masa generasi Thabi'in, ada seorang ulama cendekiawan yang sangat luas dan mendalam keilmuannya. Sampai-sampai oleh para ulama lainnya digelari "Rabi'atur Ra'yi" Logika musim semi. Gelar untuk menggambarkan betapa jenius ulama ini. Praktis, Rabi'atur Ra'yi menjadi tujuan uatama para penuntut ilmu untuk belajar. Tidak terkecuali Malik bin Anas. Seorang remaja yang kelak akan dikenal sebagai Imam Malik Rahimahullah, peletak dasar Madzhab Maliki. Ada momen terpenting, menurut saya, yang perlu kita underline, ketika Malik bin Anas akan belajar kepada Rabi'atur Ra'yi, yaitu nasehat sang Bunda. "Nak, camkan pesan ibu, pelajarilah olehmu adab Rabi'atur Ra'yi sebelum kau pelajari ilmunya." Sebuah pesan singkat, namun sangat mendalam maknanya. Sejatinya, ada pesan lain yang tersirat dari pesan Bundanya Malik bin Anas, yaitu "Nak, jika kau tak temui adab pada diri Rabi'atur Ra'yi, maka kau tak perlu buang-buang waktu belajar ilmu kepadanya." Mengapa? Sungguh, tak akan bermanfaat ilmu setinggi apapun jika tiada adab di dalamnya. Terlebih bila ilmu setitik nila, plus kehilangan adab. Allah telah menyindir keras para ahli ilmu Rabi Bani Israil yang tiada adab dalam dirinya dengan perumpamaan seekor keledai yang memikul kitab-kitab dipunggungnya QS. 62 5. Keledai tentulah tiada paham untuk apa kitab-kitab yang dipikulnya itu. Demikianlah, Allah menyindir keras para ahli ilmu yang berjilid-jilid kitab dalam kepalanya, namun tiada adab tertanam dalam diri dan lisannya. Sia-sia ilmunya. Bahkan, malah menyeretnya pada jika para ulama sepakat, "Kada al-adab qabla al-'ilm" Posisi adab itu sebelum ilmu. Syaikh Ibnu Mubarak, seorang ulama yang sangat shalih, berkata, "Thalabtul adab tsalatsuna sanah wa thalabtul 'ilm 'isyrina sanah" Aku belajar adab 30 tahun lamanya, sedang aku belajar ilmu hanya 20 tahun lamanya. Jernih sekali nasehat Imam Asy-Syafi'i kepada Imam Abu Abdish Shamad, gurunya anak-anak Khalifah Harun Al-Rasyid, "Ketahuilah, yang pertama kali harus kamu lakukan dalam mendidik anak-anak khalifah adalah memperbaiki dirimu sendiri. Karena, sejatinya paradigma mereka terikat oleh paradigma dirimu. Apa yang mereka pandang baik, adalah apa-apa yang kau lakukan. Dan, apa yang mereka pandang buruk, adalah apa-apa yang kau tinggalkan." Maka, sudahkah konsep adab sebelum ilmu diterapkan di sekolah-sekolah kita? Sudahkah kita belajar adab sebelum ilmu? Dan, sudahkah kita belajar ilmu kepada guru yang memiliki adab mulia? Oleh Muhammad Syafi'ie el-Bantanie, Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Founder Sahabat Remaja Indonesia BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Semalam saya berdiskusi dengan suami mengenai progres hafalan Faris yang belum nambah-nambah. Mungkin dia bosan dengan metode pembelajaran saya, atau memang saya yang kurang mumpuni mendampinginya belajar. Entahlah, berkecamuk banyak pertanyaan di benak saya kenapa begini kenapa begitu. Saya terlalu menuntutnya mungkin, menggegasnya lebih awal tanpa memperdulikan hal-hal kecil yang sesungguhnya justru itulah yang bisa dia hadiahkan kepada saya saat ini. Seperti bersegera wudhu dan sholat jika sudah terdengar adzan, lebih aware saat bersuci setelah kencing, tidak berbicara saat di dalam kamar mandi, dan beberapa adab baik lainnya yang sudah ia laksanakan. Tetapi saya justru menuntut kekurangannya. Apanya yang salah? Pagi tadi saya lihat rekaman Ustadz Nuzul Dzikri Lc yang judulnya “Ayah Bunda Tolong Bawa Aku Ke Surga”. Dijawab banget semuanya disitu. Tentang kewajiban orang tua membekali anak terlebih dahulu dengan Iman sebelum Al Quran. Karena Iman akan menjadi bekal dikehidupannya sampai ke akhirat. Apakah itu kecerdasannya dalam hal ilmu dunia, ataupun tentang hapalan Al Quran nya yang banyak, tanpa Iman, maka ia sia – sia. Hebat di dunia tanpa iman, menjadikannya tidak selamat di akhirat. Hebat hapalan Al Qurannya tanpa Iman melakukan ketaatan akan menjadikannya seorang munafik. Maka sampaikan kepada anak kita tentang ini ; Abdullah bin Abbas –radhiyallahu anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Masyaa Allah, mendengar ini rasanya saya baru diingatkan tentang hal mendasar yang justru terlupakan. Dengan itu saja, sudah cukup seorang anak terhindar dari keadaan down saat gagal ujian masuk perguruan tinggi yang ia cita – citakan karena meski ia telah ikhtiar tapi jika itu bukan takdirnya maka tidak akan ia raih. Iapun percaya ada rencana Allah lainnya yang menjadi takdirnya dan itu baik baginya. Tidak akan ada anak yang minder jika keadaannya berbeda dengan teman lainnya. Baik dalam hal harta, keadaan fisik, maupun kecerdasannya. Karena ia tahu, Allah telah berikan sesuai dengan takdirnya. Sebagian kita terlalu menuntut anak untuk pintar disemua mata pelajaran. Sibuk dengan les ini dan itu. Menyampaikan bahwa kamu suatu saat harus jadi orang dengan ilmu kamu. Maka kamu harus pintar. Harus rajin belajar. Ya benar, pintar memang harus. Tapi jika itu untuk dunia, temukan saja satu bakatnya yang bisa menjadi bekal hidupnya. Apakah ia berpotensi menjadi seorang dokter, maka tidak perlu memaksanya pandai juga banyak bahasa asing. Jika dia berbakat dibidang matematika, maka tidak perlu memaksanya pandai desain misalnya. Agar waktunya terfokus pada bidang yang ia minati. Bahwa membekali anak agar siap menghadapi masa depan dengan dengan ilmu paling canggih saat inipun, belum tentu dimasa depan ilmu itu bisa ia pakai. Semua cepat berganti. Bukankah banyak saat ini orang – orang yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya dahulu? Namun dengan iman, apapun itu tak kan jadi masalah. Karena Firman Allah “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” QS. Ath Tholaq 2-3 Lalu mengapa kita masih sibuk dengan persiapan dunianya saja ; Ini asuransi pendidikan, ini asuransi kesehatan, ini tabungan untuk nanti menikah, ini rumah untuk anak – anak, dst. Sampai – sampai kita sibuk dengan pekerjaan dan tak sempat lagi menikmati kebersamaan dengan anak, memberikan mereka nasihat, membekali mereka dengan berbagai rencana akhirat. Sampai lalai membekalinya dengan iman. Bahwa Allah melihatnya, bahwa setiap tindak langkahnya dicatat malaikat, bahwa jika ia kesulitan Allah yang akan menolongnya, jika ia kebingungan Allah pula yang akan menuntunnya. Bagaimana bisa kita marah kepada anak saat nilainya buruk, saat ia membangkang, saat ia tak mau sekolah. Bukan marah karena anak lalai dengan sholatnya, tak peduli dengan pergaulannya. Kita bisa marah saat anak susah bangun pagi untuk berangkat sekolah, tapi tak marah saat anak tidak bangun untuk sholat subuh. Astaghfirullah…. Bukan berapa banyak juz anak kita hapal Al Quran, tapi hatinya hampa dari rasa cinta kepada Allah. Bukan berapa banyak prestasinya ia raih disekolah, tapi seberapa dalam kecintaannya kepada Allah. Menggantungkan hati dan harapan hanya kepada Allah. Bersungguh – sungguh dalam ketaatannya kepada Allah. Jika Iman ada dalam hatinya, profesi apapun yang halal, jadi apapun ia kelak, maka itulah investasi akhirat. Itulah kesuksesan sejati. Agar sekeluarga, bisa berkumpul kembali di SurgaNya Kelak.

adab sebelum ilmu ilmu sebelum amal